Selasa, 15 November 2011

tulisan-tulisan berbau dengan ekonomi

Kemiskinan Akut: Mengurai Kegagalan Mekanisme Pasar


Fukuyama dengan jumawa berkata bahwa kemenangan kapitalisme

adalah akhir dari sejarah (the end of history). Benarkah?

Tunggu dulu. Bagaimana jika kapitalisme hanya melahirkan hubungan imperial dan

pembelahan antagonis di tubuh masyarakat?

Bukannya berbuah manis, kapitalisme justru menyisakan banyak kegetiran: kemiskinan di mana-mana! Tulisan ini ingin mengurai tentang hal itu, dengan mencoba membangun ulang pemahaman tentang apa dan bagaimana teori-teori menjabarkannya.

Apa kira-kira yang paling menakutkan di dunia saat ini? Hantu apa gerangan yang sedang menjelajah-merayap di sendi-sendi kehidupan saat ini? Jika dua pertanyaan itu dialamatkan kepada filsuf Erich Fromm, dia pasti akan berujar bangga, Di tengah-tengah kita ada hantu. Bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu-hantu baru. Yaitu, masyarakat yang dimesinkansecara total, dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material. Konsekuensinya, demikian Fromm, perasaan-perasaan dalam hubungannya dengan orang laindiatur oleh alat-alat.

Bisa jadi, anggota generasi pertama Mazhab Frankfurt itu benar. Jika kita mau jujur bicara, hubungan yang terjadi di tubuh masyarakat saat ini adalah hubungan yang sangat mekanis. Karena mekanis, tentu saja kehidupan kita defisit solidaritas sosial—suatu ciri yang seharusnya membedakan kehidupan manusia dengan hewan. Di sana terjadi pembelahan secara antagonis: kaya dan miskin. Itulah cerminan masyarakat kapitalis.

Dengan nada yang lebih geram Karl Marx memertegas bahwa kemauan kaum kapitalis sudah pasti adalah untuk mengambil laba sebanyak mungkin. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Tentu saja, demikian Marx, bukan lagi berkutat untuk membicarakan ”kemauan”nya itu, melainkan menyelidiki kekuasaannya, batas-batas kekuasaan itu, dan watak dari batas-batas itu.

Membuka Tirai Kemiskinan



Tirai kemiskinan adalah tirai yang mencekam dan melilit sebagian besar kehidupan masyarakat Dunia Ketiga, yang berada dalam balutan sistem dunia.



Pernahkah di suatu waktu, Anda berkhayal jatuh dalam belitan kemiskinan yang akut; tak bisa makan dan terlunta-lunta? Bagaimana Anda membaca kemiskinan? Apakah kemiskinan sejatinya tak ada, sebab ia adalah suatu yang relatif, bisa diperdebatkan? Relatif, karena ada manusia yang bergelimang harta, namun tetap merasa kekurangan. Dan sebaliknya, ada manusia yang hidup serbakekurangan, namun dia tak merasa miskin. Benarkah pandangan kaum ”samar” dan ”netral” ini? Maka, berkhotbahlah para posmois. Dikatakan olehnya, bahwa setiap entitas punya hak dan kearifan lokal untuk menginterpretasikan sendiri atas kenyataan yang ada di depannya.

Kami ingin meletakkan pandangan yang berbeda secara diametral dengan pandangan tersebut. Bagi kami, kemiskinan merupakan produk dari ketidakadilan sistem yang ada di masyarakat. Dari kacamata ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kemiskinan bukan sesuatu yang taken for granted. Kemiskinan juga bukan karena si miskin itu malas. Di sinilah, kita berjumpa dengan term pemiskinan struktural. Di sana ada jejaring konspirasi yang saling berjalin-kelindan mengonstruksi realitas.

Ilustrasi mudahnya bisa didapat sebagai berikut. Adilkah ketika para petani kecil kita berhadapan dengan perusahaan raksasa yang melampaui batas-batas spasial? Adilkah, atas nama perdagangan bebas, Pak Sastro, petani di pelosok Jember, harus berhadapan dengan Monsanto, perusahaan pangan raksasa AS?

Suka atau benci, kini, dunia seluas ini telah menjadi sebuah desa buwana, kecil, terintegrasi dalam pasar global. Apa yang terjadi di Wall Street sebagai pusat kapital dunia, akan terasa dampaknya hingga ke Kemiri, desa nan udik di Jember. Seluruh ruang dan waktu menjadi komoditas. Yang kaya semakin kaya. Yang lemah akan dilibas.?

Siapa pun Anda, apa masih tidak percaya jika Washington menentukan nasib petani di Jember? Apa artinya? Kita yang hidup terus dalam penindasan sejak kolonialisme Belanda, lagi-lagi harus terkena muntahan logika kapitalisme yang liar. Kapitalisme lanjut dengan neoliberalisme-nya, adalah biangnya.

Maka, terbuktilah dengan tebaran data-data yang menyesakkan dada. Jumlah orang lapar atau tepatnya yang menderita kekurangan kalori dan protein di dunia masih sekitar 900 juta orang, dan lebih dari 90 persen berada di negara-negara berkembang.

Kondisi kelaparan di negara berkembang tersebut tentu sangat berkaitan erat dengan peta kemiskinan yang sampai sekarang menjadi persoalan tersendiri. Angka kemiskinan tersebut memang agak mengkhawatirkan dan mungkin menghalangi pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, MDGs), untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015.

Hampir sepertiga penghuni dunia yang berjumlah sekitar enam miliar jiwa, harus hidup dengan pendapatan kurang dari dua dolar AS per hari. Dan, 1,3 miliar manusia masih hidup di bawah satu dolar AS per orang per hari. Begitu juga untuk akses mereka terhadap air bersih .

Saat ini pula, satu miliar manusia di Negara Utara, menguasai 80 persen sumberdaya dan produk dunia. Sementara, lima miliar manusia lainnya yang mayoritas hidup di Negara Selatan, harus saling berebut 20 persen sumberdaya dan produk dunia yang merupakan sisanya .

Manusia-manusia kaya menikmati 85 persen pengeluaran dunia untuk konsumsi, menikmati 45 persen daging yang dikonsumsi, 65 persen listrik, menggunakan 84 persen kertas, 85 persen logam dan bahan kimia. Di sisi lain, mereka ”buang hajat” dengan menghasilkan 70 persen emisi gas karbondioksida di seluruh dunia.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi MDGs, Indonesia seharusnya juga memiliki komitmen untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (dari jumlah sekitar 36 juta pada pertengahan 1990-an). Tantangan pencapaian tujuan MDGs tersebut menjadi sangat serius ketika pada tahun 2006 ini, jumlah orang miskin bertambah menjadi lebih dari 39 juta orang.

Kemiskinan struktural yang terjadi menandakan aktor intelektual terus berupaya merealisasi skenario yang dirancangnya. Bisa jadi dalam skenario telah tersusun tesis dan antitesis, sekaligus muncul jadi penguasa pada tahap sintesis. Kalau pemimpin Tiongkok, Deng Xiao Ping pernah bilang, ”Tak peduli kucing berbulu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus,” maka kapitalisme neoliberal punya motto, ”Tak peduli pemerintahannya otoriter atau demokratis, yang penting pasarnya terbuka”. Dan ini yang tak mampu kita pahami di ranah substansi.



Hegemoni Pikiran: Salah Kaprah Pemahaman

Banyak yang beranggapan bahwa pembangunan merupakan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Bagi penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri, sehingga membutuhkan ”embel-embel” di belakangnya, seperti pembangunan model Barat, pembangunan model sosialis, dan sebagainya.

Sementara itu di pihak lain terdapat suatu pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa kata pembangunan itu sendiri adalah sebuah ”discourse”. Bahkan, merupakan suatu ideologi tertentu tentang perubahan sosial. Dengan demikian, konsep atau teori pembangunan dalam pandangan tersebut merupakan suatu ideologis dan serta praktik mengenai perubahan sosial.

Sebelum jauh melangkah, tentu harus kita bahas terlebih dahulu apa paradigma yang telah banyak memengaruhi dan membentuk suatu teori. Secara sangat sederhana, paradigma adalah semacam perspektif. Dan kita ketahui, tak ada satu pun perspektif di dunia ini yang bersifat netral. Semuanya berpihak, demikian Marx, berdasar latar belakang kelasnya. Dalam pengertian yang lebih akademis, paradigma dapat diterjemahkan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.

Dalam perjalanannya, di antara saling centang-perenang situs pertarungan paradigma itu, pasti ada yang mendominasi. Dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena salah atau benar. Tapi lebih dikarenakan pendukung paradigma yang menang lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan. Demikian juga dalam memahami dipilih atau diterapkannya suatu teori perubahan sosial maupun pembangaunan.

Dengan demikian, dominasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial atau teori pembangunan adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, berkaitan dengan kekuatan dan kekuasaan penganut teori itu ada sangkut pautnya dengan kebenaran teori itu sendiri.

Paradigma positivisme, misalnya, secara jelas menempatkan ilmu alam sebagai penguasa benda, yakni dengan kepercayaan adanya generalisasi. Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal bersifat universal, artinya cocok untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial.

Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, yang kemudian dilaksanakan oleh para teknisi.

Berseberangan dengan itu, kita mengenal paradigma teori kritis yang diusung Juergen Habermas. Paradigma kritis ini justru menempatkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial.

Paradigma kritis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis memerjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Di sini memang kita diajari untuk berpihak.

Filsuf pendidikan Paulo Freire menegaskan bahwa tugas sebuah paradigma, termasuk paradigma pembangunan, adalah melakukan conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas.

Berkaitan dengan itu, Freire mengklasifikasikan tingkat kesadaran masyarakat pada tiga tahapan. Pertama, kesadaran magis, yakni satu teori kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya.

Seperti yang kita bahas kali ini adalah tentang kemiskinan. Kesadaran magis adalah teori yang percaya akan adanya masyarakat miskin yang tidak mampu. Sehingga menyerahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun supernatural.

Yang kedua adalah kesadaran naif. Kesadaran ini lebih melihat aspek manusia sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat menjadi miskin, di tingkat kesadaran ini, kita akan menimpakan kesalahan kepada masyarakat sendiri, yakni mereka malas atau tidak memiliki keinginan berusaha.

Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran kritis yang melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victimsdan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja.

Di tulisan ini, kita berhadapan dengan sebuah paradigma pembangunan ala Barat yang telah terbukti berkontribusi besar dalam proses pemiskinan di republik ini. Pembangunan ala Barat selama ini diidentikkan dengan ”modernisasi”, proses membawa masyarakat yang menurut versi Barat adalah ”tradisional” menuju masyarakat ”modern”.

Teori modernisasi yang lahir tahun 1950-an di AS itulah yang kemudian melambari perjalanan kapitalisme. Oleh kaum intelektual (bayaran), ia dianggap sebagai jalan menuju perubahan. Modernisasi menjadi penemuan teori yang terpenting dari perjalanan kapitalisme.

Modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner (perubahan cepat didasari ”tradisional” ke ”modern”). Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks (melalui banyak cara dan ilmu), sistematik, menjadi gerakan global yang akan memengaruhi semua manusia, melalui suatu proses yang bertahap untuk menuju suatu homogenisasidan bersifat progresif.

Di sinilah kemudian mantra dirapalkan, bahwa ada misi suci ”memodernkan” Dunia Ketiga. Konstruksi opini dari media massa Barat bahwa Dunia Ketiga penuh dengan abnormalitieskian masif, hingga Barat mempunyai legitimasi untuk ”memodernkannya”.

Fenomena kekurangan gizi, buta huruf, air bersih, dan sebagainya lantas dijadikan penguat untuk menunjang imperialisme Barat ke Dunia Ketiga. Diskursus pembangunan itu coba diterapkan dan dipaksakan oleh negara-negara berkuasa seperti AS dan para sekutunya agar mereka mampu mengontrol secara halus apa pun yang terjadi di negara yang disebut ”primitif”. Di tiap negara berkembang secara mendalam hingga sampai di pedesaan dengan pendekatan masing-masing.

Di Indonesia, misalnya, ideologi pembangunan yang kemudian diterjemahkan dalam pembangunan tersebut dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial, dan politik yang canggih—atau dalam bahasa Gramsci, disebut hegemoni.



Imaji Kemakmuran ala Barat

Konsep trickle down effectyang digadang-gadang mampu membawa Indonesia ke arah kesejahteraan, ternyata patah sepatah-patahnya. Perhatian lebih kepada pemodal besar, dengan harapan akan terjadi rembesan ke bawah, ternyata buntu.

Konsep pertumbuhan tersebut, sejatinya didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi WW Rostow yang tertuang dalam The Stage of Economic Growth. Selubung pemikiran Rostow terlihat bahwa dia fokus pada faktor manusia, bukan struktur dan sistem.Parahnya, tingkat kesadaran kita masih berada—dalam terminologi Freire—dalam kesadaran magis dan naif, belum sampai pada tingkat kesadaran kritis yang mampu menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berakibat pada keadaan masyarakat

Kembali ke Rostow. Tahapan pembangunan masyarakat Rostow terdiri atas lima matra, mulai dari masyarakat tradisional hingga masyarakat modern, yaitu masyarakat konsumsi masa tinggi (high mass consumption). Masyarakat modern itu, demikian Rostow berkhotbah, mempunyai prasyarat utama, yaitu modal.

Strategi pembangunan dan modernisasi tersebut hanya mampu meningkatkan GNP, namun semua pendekatan pembangunan yang lain dalam kenyataanya telah menunjukkan kegagalan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam Dunia Ketiga. Yang terjadi sebaliknya, pembangunan telah membawa dampak negatif, di antaranya pembangunan telah meningkatkan pengangguran, menumbuhkan ketidakmerataan, memunculkan wajah-wajah baru kemiskinan atau dengan kata lain membuat kesenjangan sosial semakin menganga.

Dari sini, kita sebenarnya sedang lupa untuk mengkaji bagaimana hakikat modal tersebut. Kita lupa bahwa modal selalu memiliki logikanya sendiri. Di mana modal tidak akan membela siapa-siapa. Logika modal akan sealu berkembang, liar, rakus, dan menjijikkan. Dan, para pemujanya, pasti akan selalu berjuang untuk kepentingan yang dipujanya, termasuk merampas hal yang bukan menjadi miliknya. Di bawah kapitalisme, uang merupakan sebuah komoditi super (supercommodity).

Mahaguru materialisme, Marx, percaya bahwa modal memliki logikanya sendiri yang mendahului tatanan eksplanatoris terhadap kompetisi dan perilaku pasar. Pasalnya, modal cenderung liar untuk mencari nilainya masing-masing. Dan, itu juga yang mendasari Marx berkesimpulan bahwa hambatan sebenarnya dari proses produksi kapitalis adalah modal itu sendiri.

Begini alur penjelasannya. Sebagai konsekuensi dari sendi kapitalisme, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kaum minoritas, yang merasa dirinya kaya tersebut saling bersaing. Akibatnya, setiap perusahan berusaha tumbuh lebih cepat dari pesaingnya. Dan itu, demikian Marx, hanya dapat dilakukan dengan memaksimalkan nilai lebih dengan menghisap kaum pekerja. Sehingga timbul fenomena yang kontradiktif, yaitu terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan kemakmuran rakyat.

Konsentrasi kapital yang dijalankan, dengan demikian, membutuhkan pasar. Dan pada saat modal sudah tidak mampu bergerak di daerahnya sendiri atau di wilayah asal kekuasaannya, maka modal mulai mencari daerah yang lebih luas untuk pergerakan modalnya. Saat itulah modal melancarkan serangan pada negara-negara baru untuk dijadikan sasaran berikutnya Ekspansi modal dari negara kaya ke negara miskin pun terjadi.

Untuk melancarkan gerakan tersebut modal tidak akan bisa jika bergerak sendiri,. Melainkan juga membutuhkan perlindungan atau kekuasaan. Terjadilah kolaborasi antara modal dan penguasa atau pemerintah. Pemerintah menjadi tunggangan modal untuk melanggengkan jalannya. Muncullah golongan baru yang disebut dengan ”kabir” atau kapitalis birokrat. Yaitu mereka-mereka yang mempunyai kekuasaan, lantas memuluskan pergerakan modal. Dari analisis ini juga, akhirnya korupsi tumbuh subur di kalangan birokrasi. Karena, penguasa lokal selalu membutuhkan asupan ”gizi” dari kaum kapitalis.

Dan terbukti, konsep pembangunan di Indonesia yang berkiblat kepada Rostow menemui kebuntuannya. Segera saja, kita dihantam badai krisis ekonomi, yang berarti juga krisis dari model pembangunan kapitalisme. Dalam sekejap, semua yang kita miliki menyublim. Hill menyatakan bahwa Indonesia adalah ”laboratorium yang baik” dalam kasus pembangunan.

Fenomena kegagalan pembangunan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa pandangan yang selama ini mendewa-dewakan paradigma pertumbuhan (growth paradigm) dalam pembangunan ternyata tidak menyelesaikan persoalan. Yang terlihat justru tirai-tirai kemiskinan yang kian menebal. Terlalu banyak bukti yang memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi memang tidak berbanding lurus dengan pemerataan.

Polemik kemiskinan yang terjadi belum lama ini, dipacu pidato Presiden SBY, setidaknya bisa mewakili tesis di atas. Meski realisasi investasi 2005 mencapai USD 12,1 miliar dan di tahun 2006 ditargetkan naik 15,2 persen menjadi USD 13,3 miliar,toh bukan solusi final atas problem kemiskinan.

Bahkan, versi BPS pada Maret 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah hampir empat juta jiwa dibanding kondisi pada Februari 2005. Versi BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 adalah 17,75 persen dari total penduduk.

Menariknya, polemik tentang data kemiskinan tersebut terjadi dengan serunya. Ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) menyatakan bahwa data BPS tersebut manipulatif dan telah terjadi korupsi data. Menurut TIB, jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 sebenarnya adalah 45,9 juta jiwa atau lebih besar 6,85 juta jiwa dibanding data BPS .Desember 2006 lalu, Bank Dunia juga merilis data bahwa jumlah orang miskin di Indonesia bertambah drastis.

Dalam perkembangannya, kemiskinan yang terjadi tidak hanya terbatas pada kekurangan dan keterbatasan ekonomi atau karena eksploitasi dan sejenisnya, tetapi sudah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Dan semua itu membutuhkan penanganan yang serius yang tidak bisa dilihat hanya sepotong-sepotong.

Selama ini upaya menanggulangi dan memutus mata rantai kemiskinan yang terus-menerus dilakukan, sampai pada batas-batas tertentu, justru hasilnya banyak dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu saja, sehingga bukan optimalisasi keberhasilan yang dirasakan, melainkan munculnya masalah baru yakni kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Kebijakan soal BLT, misalnya, yang justru meretakkan modal sosial di masyarakat.

Kondisi semacam ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Ada sesuatu yang mesti diubah atas strategi penanggulangan kemiskinan yang dijalankan selama ini. Persoalan-persoalan semacam itu tentu tidak bisa hanya diselesaikan melalui paradigma pertumbuhan semata. Mata rantai penyebab kemiskinan tersebut juga tidak bisa hanya diputus salah satu aspeknya saja, melainkan harus semuanya diputus. Perlu penanggulangan kemiskinan secara total dan terpadu.

Artinya, pendekatan yang kita lakukan juga harus mampu membaca gejala dan fenomena yang terjadi secara global, globalisasi. Jangan lagi globalisasi kita pandang ramah dan bersahabat bagi kaum miskin.

Mau tidak mau, ketika kita berbusa-busa bicara globalisasi ekonomi, arahan pembicaraan tetap harus dibawa ke pembacaan terhadap neoliberalisme, di mana mekanisme pasar dijadikan dewa. Sebab, globalisasi ekonomi memang melulu berbicara mengenai misi penyebarluasan dan pelaksanaan ekonomi neoliberal di seluruh penjuru dunia.

Menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih memujanya sebagai muara dari berbagai kebijakan ekonomi, jelas-jelas telah mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Telah menghancurleburkan fondasi kokoh perekonomian rakyat, menistakan integrasi dan modal sosial masyarakat, yang pada akhirnya akan membawa perekonomian bangsa ke jurang kehancuran. Ini yang tidak disadari oleh ekonom atau intelektual kita—atau andaikan disadari, selalu diabaikan karena mereka adalah intelektual bayaran yang sepanjang hidupnya ”mengekor” pada kapitalis.

Meningkatnya ketergantungan ekonomi negara-negara miskin terhadap kepentingan negara dan pemodal, mengandung konsekuensi yang teramat perih. Yaitu, peran pemerintah sebagai pelayan rakyat, bergeser menjadi peran antagonis, melayani dan melindung kepentingan pemodal internasional. Negara, meminjam terminologi Hobbes, telah menjadi leviathan, monster yang teramat menakutkan bagi rakyatnya.

Secara hakikat, neoliberalisme dengan segenap mantra mekanisme pasar itu, adalah imperialisme. Dan imperialisme, demikian Lenin berkata, adalah the highest stage of capitalisme.

Kemiskinan dan kesenjangan sosial di mana-mana adalah cermin kegagalan mekanisme pasar. Cermin kegagalan kapitalisme. Namun yang harus disadari, kegagalan kapitalisme kontemporer tidak secara otomatis menuju pada kemenangan sosialisme, sebagaimana diteorikan Marx.

Sosialisme adalah ”kebutuhan” sejarah untuk menuju masa baru yang diisi dengan limpahan tenaga produktif yang konsisten dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer. Sosialisme adalah kebutuhan umat manusia, yang dalam segala masa akan menghasilkan harmonisasi indah. Di satu sisi, pemenuhan kebutuhan individu yang semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya akan dijamin. Di sisi lain, tak ada sebuah proses penghancuran ekologi.

Keyakinan penulis bukan tanpa dasar. Sistem kapitalisme yang selalu membawa krisis kesejahteraan rakyat, telah disadari kaum marginal di Dunia Ketiga. Gerakan-gerakan rakyat pun bermunculan. Bahkan, pemerintahan sosialis mulai tumbuh dan menjadi kenyataan di Amerika Latin.

Neoliberalisme yang telah mengempas perekonomian negara-negara Asia dan Afrika disambut dengan berbagai gejolak dan aksi yang meluas. Apa yang diyakini oleh Fukuyama bahwa kapitalisme adalah akhir sejarah (the end of history) seperti dipapar di awal tulisan ini, tampaknya telah usang-kuno.

Dan akhirnya, kalau kita kembali pada analisis materialisme-dialektika-historis Marx, perubahan sosial dalam berbagai bentuknya, termasuk mengubah sistem hari ini, disebabkan oleh perubahan cara manusia berproduksi. Artinya, cara produksi imperial hari ini memang harus diubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar