Selasa, 15 November 2011

tulisan-tulisan (tentang) ekonomi

Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi Yang Bertumpu Pada Sumberdaya Lokal Dalam Era Otonomi Daerah

Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan berkepanjanan sampai saat ini telah menimbulkan efek domino terhadap timbulnya krisis yang lain, baik krisis politik, keamanan, sosial dan budaya. Gabungan dari multi krisis tersebut cukup mengkuatirkan bagi masa depan bangsa Indonesia, karena dapat menimbulkan kehancuran dan disintegrasi bangsa. Bagaimana mengatasinya, untuk itu harus dilihat dari akar permasalahan tersebut.

Berdasarkan pengamatan, timbulnya krisis ini disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu pelaksanaan pembangunan yang terpusat (sentralistik) dan model pembangunan ekonomi yang sangat bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan pengunaan alat-alat berat dan hi-tech (teknologi tinggi) dengan mengenyampingkan pemerataan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya kemiskinan semakin meningkat dan pengganguran terjadi dimana-mana.

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini, diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui industrialisasi yang bertumpu pada penggunaan hi-tech. Dengan strategi ini pertumbuhan ekonomi mencapai level yang tinggi (sekitar 7% per tahun). Namun demikian model pembangunan yang demikian telah menimbulkan struktur ekonomi yang tindak sehat, rapuh, pemerataan kesempatan berusaha yang rendah, dan permasalahan-permasalahan tersebut berakumulasi dalam jangka waktu yang panjang, sehingga muncullah krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Krisis ini menjadi berkepanjangan tak kunjung usai, karena pemecahannya hanyalah bersifat jangka pendek dan hanya memindahkan masalah saja bukan menyelesaikan masalah.

Di sisi lain, pembangunan ekonomi kita bersifat sentralistik, sehingga semua kebijakan baik fiskal maupun moneter ditangani oleh Pemerintah Pusat, seakan-akan Pemerintah Pusat memahami semua persoalan di daerah, dan semua kebutuhan daerah. Rakyat daerah hanyalah menerima pembagian (jatah) pembangunan dari pusat, tanpa berperan serta aktif dalam merumuskan semua kebutuhan pembangunan daerah. Akibat pemerintahan yang sentralistik telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di kota-kota besar saja dan potensi daerah tidak mampu diaktualkan seoptimal mungkin, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan hanyalah muncul dalam jargon-jargon politik semata.

Keberhasilan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran serta daerah dalam mewujudkan tujuan pembangunan, sebab pembangunan daerah secara utuh dan terpadu merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Di samping itu, dalam menghadapi perkembangan keadaaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, perdagangan bebas dan isu demokratisasi, menyebabkan perlunya model pembangunan yang terpusat menjadi terdaerahkan. Karena pada dasarnya yang memahami kebutuhan pembangunan daerah adalah penduduk daerah itu sendiri. Oleh karena itu, otonomi daerah merupakan solusi terbaik bagi bangsa ini.

Salah satu faktor keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan dan pengeluarannya. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, persoalan yang muncul kepermukaan adalah model pembangunan ekonomi yang bagaimanakah yang tepat bagi pelaksanaan otonomi daerah, sehingga tidak muncul permasalahan nasional bergeser ke daerah.



B. KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM MASA OTONOMI DAERAH

Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sejak tanggal 1 Januari 2001 yang didasarkan pada Undang Undang No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka dapat disimpulkan bahwa OTODA telah menjadi kesepakatan nasional bahwa inilah jalan terbaik bagi bangsa Indonesia untuk membentuk “Indonesia Baru” yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih terhormat dengan melibatkan semua elemen masyarakat. Otoda memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertangung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, sesuai dengan prinsip-prinsip demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Indikator penting keberhasilan penyelengaraan otonomi daerah adalah kemampuan daerah dalam bidang penerimaan keuangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah masing-masing..

Masalah penerimaan keuangan merupakan persoalan yang cukup kompleks. Hal ini, karena kemampuan menghasilkan penerimaan sendiri terkait langsung dengan kemampuan daerah untuk melaksanakan pembangunan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan ini kemudian bermuara pada dua faktor penting, yakni pemerintah daerah tidak mempunyai kemampuan untuk menggali penerimaan potensi daerah dan kemampuan untuk meningkatkan penerimaan daerah relatif lemah, sehingga daerah sulit untuk dapat mengembangkan potensi daerah dan potensi kreatifitas birokrasi. Fakta menunjukkan bahwa banyak daerah mengalami ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat.

Dalam era Otoda, pemerintah harus berperan sebagai engine of growth bagi kemajuan, pembangunan daerah. Peran pemerintah daerah tersebut akan tercermin dalam pendayagunaan kemampuan mengelola sektor publik, terutama pengelolaan keuangan daerah yang diperkirakan semakin meningkat, yaitu sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari pajak dan subsidi daerah. Semakin majunya pembangunan daerah memerlukan sumber dana yang semakin besar. Kemudian, semakin besarnya potensi kemampuan daerah tercermin dari semakin tingginya pertumbuhan ekonomi daerah. Ini merupakan potensi sumber penerimaan daerah yang cukup besar.

Berdasarkan pada kapasitas penerimaan keuangan, yang tercermin pada besarnya PAD, maka akan dilihat kelayakan suatu daerah untuk mengelola keuangan daerah secara mendiri. Kemandirian atau otonomi dalam bidang keuangan daerah akan sangat tergantung pada sejauhmana kapasitas dan usaha pajak dan retribusi yang mampu diraih oleh suatu daerah. Oleh karena itu, setiap daerah mempunyai kesiapan yang berbeda dalam menyongsong OTODA. Dengan hanya mengandalkan sumber keuangan pada PAD dan DAU saat ini, maka prospek kedepan pemerintah daerah akan mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan sebagai sumber pendanaan untuk pelaksanaan pembangunan dan organisasi pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, perlunya pemerintahan melaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan.

Prinsip yang harus dilaksanakan dalam melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan adalah (1) tidak menyebabkan bertambahnya beban masyarakat, (2) benefit yang ditimbulkan harus lebih besar dibandingkan cost-nya, dan (3) harus memenuhi azas keadilan. Ketiga hal ini haruslah dipenuhi semua, agar usaha peningkatan pendapatan tersebut tidak menjadi kontra-produktif bagi pembangunan dan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD tidak membabi buta dalam mencari sumber-sumber pemasukan baru. Karena otonomi daerah tidak identif dengan penerimaan PAD, sebagaimana yang sering dikawatirkan sebagian pengamat dan NGO.

Sebenarnya yang terpenting bagi daerah adalah bagaimana harus meningkatkan pendapatan masyarakat, bukanlah pada bagaimana meningkatkan pendapatan Pemerintah Daerah. Peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilakukan dengan mengerakkan secara lebih aktif roda perekonomian daerah melalui pembangunan ekonomi dengan meningkatkan kapasitas produksi daerah melalui investasi. Karena pembangunan ekonomi itu sendiri lebih diterjemahkan sebagai suatu proses yang meningkatkan kapasitas produksi dan indikator utama keberhasilannya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Persoalannya bagaimana pembangunan ekonomi harus dilaksanakan dan apa dampaknya terhadap masyarakat.

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebaiknya mengacu pada 3 faktor keunggulan komparatif, karena bagaimanapun barang dan jasa yang dihasilkan tidak hanya berorientasi dipasarkan dalam daerah itu sendiri (pasar lokal) tetapi dikembangkan pada daerah-daerah lain disekitarnya bahkan bila mungkin dikembangkan dalam skala nasional dan internasional. Dengan demikian, kegiatan ekonomi tersebut akan dinamis dan prospektif dalam jangka panjang. Ketiga faktor tersebut adalah : Endowment factor, Ecomomies of scale, dan technological progress.

1. Endowment Factor

Yang dimaksud endowment factor adalah tersedianya sarana produksi atau faktor produksi dalam macam atau jumlah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya atau faktor awal yang dimiliki secara berlimpah dalam satu daerah. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebaiknya mengacu pada faktor yang melimpah yang dimilikinya, karena akan terjadi efisiensi dengan membeli faktor produksi dengan harga yang relatif murah dan menjamin keberlangsungan usaha serta mampu mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerah. Misalnya daerah yang kaya akan produk pertanian tertentu, sebaiknya itulah yang menjadi priortitas pembangunan ekonomi, daerah yang kaya akan sumber primer (seperti tambang) maka itulah yang menjadi prioritas yang perlu dikembangkan, daerah yang kaya akan hasil hutan, maka hasil hutan itulah yang menjadi faktor endowment dalam pembangunan ekonominya, dan lain-lainnya.

Lebih jauh bahwa pembangunan yang bertumpu pada endowment faktor akan mampu menimbulkan forward lingked (keterkaitan ke depan) dan backward lingked (keterkaiatan ke belakang), sehingga kegiatan ekonomi diharapkan akan mendekati kondisi full employement daerah, dimana sumberdaya yang dimiliki berada dalam kapasitas penuh. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari faktor-faktor endowment yang dimilikinya dan berbeda dengan daerah lainnya.

Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan yang dipaksakan dengan tidak mengacu pada endowment faktor yang dimiliki telah menimbulkan kerapuhan pada struktur perekonomiannya. Contohnya adalah Indonesia yang mencoba membangun ekonomi dengan industrialisasi dengan menggunakan hi-tech dan industri substitusi import, dimana sebagian besar bahan bakunya didatangkan dari import. Jadi terdapat ketergantungan bahan baku pada luar negeri. Dalam hal ini terdapat dua kerugian, yaitu kerugian pertama bahwa model pembangunan yang demikian tidak menyentuh rakyat banyak baik dari sisi konsumsi maupun dari sisi produksi. Dari sisi konsumsi, seringkali produk yang dihasilkan umumnya hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya yang jumlahnya sangat terbatas, dari sisi produksi tidak menimbulkan backward dan forward effect, sehingga tidak banyak membuka lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Kerugian kedua, bahwa Pemerintah mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pihak luar, sehingga bergaining power kita menjadi lemah, dan apabila terjadi kesulitan akan dapat menganggu jalannya produksi. Jika kita tidak impor bahan baku maka produksi akan terhenti, selanjutnya akan menimbulkan penganguran yang besar dan trejadinya penurunan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan yang dialama oleh bangsa Indonesia merupakan pelajaran yang berharga, agar daerah tidak mengalami hal serupa.

2. Economies of Scale

Adanya kenyataan bahwa dalam cabang-cabang produksi tertentu orang bisa memproduksi secara lebih efisien (lebih murah) apabila skala produksi semakin besar (yaitu adanya economies of scale). Dalam konstek ini pembangunan ekonomi daerah sebaiknya diarahkan pada produk-produk yang sebelumnya telah diproduksi di daerah tersebut dan mempunyai pangsa pasar lokal yang besar, sehingga dengan adanya pasar regional, nasional dan bahkan internasional akan menyebabkan produksi akan semakin besar dan selanjutnya biaya produksi akan dapat ditekan (efisiensi) dan harga jual akan semakin murah. Murahnya harga jual akan menyebabkan barang tersebut akan semakin kompetitif.

Daerah yang berhasil memanfaatkan economies of scale sebagai landasan dalam pembangunan ekonominya adalah daerah yang :

* mendahului negara lain dalam memproduksikan barang tersebut, sehinga bisa memetik manfaat penurunan biaya produksi (yang berarti bahwa daerah tersebut lebih efisien daripada daerah lainnya yang baru memproduksi)
* mempunyai pasar domestik yang besar, sehingga sebelum mereka harus menjangkau pasar regional, nasional dan internasional pun economies of scale sudah bisa diperolehnya.

3. Tecnological Progress

Teknologi disini tidak hanya diartikan dalam bentuk fisik dan hi-tech, tetapi perubahan dalam cara berproduksi yang dikembangkan oleh masyarakat dalam suatu daerah juga merupakan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi tidak dapat digeneralisasi bahwa pengunaan teknologi hitech saja, karena tidak semua barang harus mengunakan teknologi hi-tech. Jadi Technologi yang dimaksud disini adalah kemajuan teknologi bersifat situasional dan kondisional.

Peranan kemajuan teknologi dalam pembangunan ekonomi daerah adalah bahwa teknologi dapat menimbulkan efisiensi berupa 1) labor saving, 2) capital saving, dan 3) natural resource saving. Di samping itu dengan teknologi dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas, sehingga akan menimbulkan keunggulan pada produk daerah.

Kemajuan teknologi merupakan faktor produksi yang khas dibandingkan faktor produksi lainnya, karena biasanya mempengaruhi hampir semua faktor produksi yang lain, baik terhadap kuantitas maupun kualitas.

Kemajuan teknologi dalam kenyataan merupakan faktor yang sangat penting yang menentukan pola perdagangan antar daerah bahkan dengan negara lainnya maupun menentukan pola perkembangan ekonomi suatu daerah.

Laju perkembangan teknologi tergantung banyak hal, termasuk “suasana” atau “lingkungan” yang menunjang, sikap, sifat dan kemampuan dari penduduk negara tersebut dalam pengembangan, pemanfaatan dan penerapan teknologi. Suatu daerah yang dinamis dan inovatif dalam bidang teknologi akan selalu bisa memperluas bidang keunggulan dalam perdagangan.

Otonomi Daerah yang telah berjalan selama ini diharapkan janganlah menjadi perpindahan kekuasaan dari pusat ke daerah saja, sehinggga akan menimbulkan raja-raja kecil di daerah. Jika ini terjadi maka kekurangan pada masa sentralistik akan pindah ke daerah, gerakan civil society yang terkandung dalam roh otonomi akan terabaikan dan masyarakat sama sekali tidak akan merasakan dampak positif dari otonomi daerah.

Dengan otonomi, daerah dituntut kreatifitasnya dalam merencanakan dan mengelola keuangannya. Upaya peningkatan pendapatan memang senantiasa diperlukan sebagai modal dalam membiayai pembangunan daerah dan sumber pembiayaan bagi operasional organisasi pemda itu sendiri. Namun demikian, yang terpenting bagi pemda dalam melaksanakan pembangunan ekonominya, ukuran keberhasilannya bukan hanya pada aspek besarnya pendapatan yang mampu diperolehnya tetapi juga harus mengacu pada perkembangan perdapatan masyarakat, yang tercermin dari pertumbuhan ekonominya.

Agar otonomi daerah ini dapat menjamin terjadinya peningkatan pendapatan perkapita, maka diperlukan model pembangunan yang bersifat situasional dan konditional, yang bertumpu pada endowment factor, economies of scale dan technological progress. Satu dengan lainnya saling melengkapi dalam menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar