Rabu, 27 Juni 2012

Perkembangan Politik di Dunia dan di Indonesia Dari Masa Sesudah Kemerdekaan Sampai Reformasi

Suatu sikap & tingkah laku politik
seseorang menjadi suatu objek
penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya.

Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang
terkandung dalan perintah itu.

Dapat diperkirakan orang itu
akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu
keputusan atau kebijaksanaan
politik.

Kebudayaan politik Indonesia
pada dasarnya bersumber pada
pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah
biasanya bersumber. Mengapa?
Dikarenakan oleh karena
golongan elite yang mempunyai
rasa idealisme yang tinggi. Akan
tetapi kadar idealisme yang tinggi
itu sering tidak dilandasi oleh
pengetahuan yang mantap
tentang realita hidup masyarakat.

Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang
diterapkan oleh golongan elit tersebut.

Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib
belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan,
namun pada aplikasinya banyak
anak-anak yang pada jenjang
pendidikan dasar putus sekolah
dengan berbagai alasan, seperti
tidak memiliki biaya.
Hal ini berarti idealisme itu tidak
diimplikasikan secara riil dan
materiil ke dalam masyarakat
yang terlibat dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah
penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu
akan menciptakan suatu ideologi
yang sempit yang biasanya akan
menciptakan suatu sikap dan
tingkahlaku politik yang egois
dan mau menang sendiri.

Demokrasi biasanya mampu
menjadi jalan penengah bagi
atas polemik ini. Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia.

Oleh karena itu Demokrasi yang
dilakukan dengan musyawarah
mufakat berusaha untuk
mencapai obyektifitas dalam
berbagai bidang yang secara
khusus adalah politik. Kondisi
obyektif tersebut berperan untuk
menciptakan iklim pemerintahan
yang kondusif di Indonesia.

Walaupun demikian, perilaku
politik manusia di Indonesia
masih memiliki corak-corak yang
menjadikannya sulit untuk
menerapkan Demokrasi yang
murni.

Corak pertama terdapat pada
golongan elite strategis, yakni
kecenderungan untuk
memaksakan subyektifisme
mereka agar menjadi
obyektifisme, sikap seperti ini
biasanya melahirkan sikap
mental yang otoriter/totaliter.

Corak kedua terdapat pada
anggota masyarakat biasa, corak
ini bersifat emosional-
primordial. Kedua cirak ini
tersintesa sehingga menciptakan
suasana politik yang otoriter/
totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kita tahu bahwa manusia
Indonesia sekarang ini masih
belum mencerminkan nilai-nilai
Pancasila itu dalam sikap dan
tingkah lakunya sehari-hari.
Kenyataan tersebutlah yang
hendak kita rubah dengan nilai-
nilai idealisme pancasila, untuk
mencapai manusia yang paling
tidak mendekati kesempurnaan
dalam konteks Pancasila.

Esensi manusia ideal tersebut
harus dikaitkan pada konsep
“dinamika dalam kestabilan”. Arti
kata dinamik disini berarti
berkembang untuk menjadi
lebih baik. Misalkan kepada
suatu generasi diwariskan suatu
undang-undang, diharapkan
dengan dinamika yang ada
dalam masyarakat tersebut
dapat menjadikan Undang-
Undang tersebut bersifat luwes
dan fleksibel, sehingga tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensi
yang ada, generasi tersebut
terus berkembang.

Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.

Yang menjadi persoalan kini
ialah bagaimana dapat
menjadikan individu-individu
yang berada di masyarakat
Indonesia untuk mempunyai ciri
“dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang
diinginkan oleh Pancasila.

Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi,
sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini
jikalau berjalan progressif dan
berhasil maka kita akan
meimplikasikan nilai-nilai
Pancasila kedalam berbagai
bidang kehidupan.

Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-
kebudayaan yang berideologikan
Pancasila. Proses kelahiran ini
akan memakan waktu yang
cukup lama, jadi kita tidak bisa
mengharapkan hasil yang instant
terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang
yaitu sampai nilai-nilai itu
berhasil tertanam di dalam
dirinya dengan baik.

Kedua faktor itu adalah:
• Emosional psikologis, faktor
yang berasal dari hatinya
• Rasio, faktor yang berasal dari
otaknya Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itudengan sendirinya.

Tentu saja tidak hanya kedua
faktor tersebut. Segi lain pula
yang patut diperhaikan dalam
proses pembudayaan adalah
masalah waktu. Pembudayaan
tidak berlangsung secara instan
dalam diri seseorang namun
melalui suatu proses yang
tentunya membutuhkan
tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-
penilaian-penghayatan-
pengamalan. Faktor kronologis
ini berlangsung berbeda untuk
setiap kelompok usia.

Melepaskan kebiasaan yang
telah menjadi kebudayaan yang
lama merupakan suatu hal yang
berat, namun hal tersebutlah
yang diperlukan oleh bangsa
Indonesia. Sekarang ini bangsa
kita memerlukan suatu
transformasi budaya sehingga
membentuk budaya yang
memberikan ciri Ideal kepada
setiap Individu yakni berciri
seperti manusia yang lebih
Pancasilais. Transformasi itu
memerlukan tahapan-tahapan
pemahaman dan penghayatan
yang mendalam yang
terkandung di dalam nilai-nilai
yang menuntut perubahan atau
pembaharuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar